Thursday, October 23, 2008

Marita

Marita namanya. Gadis kecil yang tinggal di panti asuhan kecil yang miskin itu. Sejak kecil, orang tuanya sudah meninggalkan dia. Katanya, bapaknya bekerja di negeri yang jauh. Sedang ibunya meninggal saat melahirkannya. Kasihan, Marita.

Tapi Marita tidak pernah terlihat bermuram durja. Dia selalu terlihat bahagia walaupun panti kecil itu hanya bisa memberi dia mainan sebuat boneka beruang dan satu set blok dos sederhana dari kayu. Dan walaupun umurnya kini sudah 7 tahun dan sudah terlalu tua untuk main boneka dan blok dos, dia tetap memainkan dua mainan itu karena hanya itu yang ia punya. Marita juga punya lima buah gaun yang cantik dan beberapa pakaian untuk dipakai di rumah. Serta sepasang sepatu putih yang ia rawat dengan baik hingga masih awet walaupun umurnya sudah lebih dari 2 tahun.

Ada satu hal lagi yang menarik dari Marita. Dibandingkan gadis kecil sebayanya di panti, Marita dulu yang paling cepat bisa menulis. Umur lima tahun ia sudah menulis dengan lancar. Oleh karenanya ia lebih sering menulis daripada bicara. Jika ia bingung, ia menulis. Jika ia berangan-angan, ia menulis. Pokoknya, jika ia butuh mencurahkan perasaannya yang meluap tumpah ruah, ia menulis.

"Marita, sedang menulis apa?" Suatu saat ibu Didi, penjaga panti, mendekati marita yang sedang asyik mencoret-coret di buku kecilnya.
"Marita lagi nulis tentang ibu."
"Ibu?"
"Iya, Ibu. Ibunya Marita. Yang udah meninggal itu."
"Coba, Marita menulisnya gimana?"

Bu Didi mendekat untuk membaca lebih jelas apa yang ditulis Marita.

Tadi malam aku mimpi ketemu Ibu. Ibu pakai gaun cantik kayak punya Marita, tapi kayaknya kekecilan untuk ibu. Terus Marita ketawa melihatnya.

Bu Didi tersenyum haru.

"Marita senang, tadi malam ketemu ibu?"
"Senang sih, tapi bingung."
"Bingung kenapa?"
"Ehmmm.." Marita terdiam, tidak bisa berkata-kata. Bu Didi tersenyum lembut, lalu mengelus rambut Marita. Ia tak hendak memaksa Marita untuk bercerita. Ia hanya ingin Marita tahu, bahwa ia bisa mengerti perasaan Marita. Lalu ia berlalu.

Setelah bu Didi menghilang dari pandangan, Marita tersenyum. Dibukanya lagi pinsilnya lalu ia kembali menulis.

Bingung.

Begitu tulisnya. Hmm, Marita mencoba mencerna makna bingung dengan tulisannya.

Waktu marita melihat ibu-ibu di mimpi marita aku bingung.

Marita terdiam lagi, menghentikan laju pinsilnya lalu mengingat-ingat lagi mimpi semalam. Ia ingat pertama kali ia bingung karena melihat orang lain di dalam mimpinya, karena biasanya ia hanya bermimpi tentang boneka Teddynya atau bu Didi. Tapi kali ini dia melihat orang yang lain. Sama sekali lain. Tapi setelah beberapa lama, Marita tahu itu ibunya. Entah kenapa. Marita merasakan perasaan kenal baik yang menyergap dengan hangat.

Ha, iya. Marita lalu menyunggingkan senyum puas. Marita sekarang ingat dia bingung lalu dia tiba-tiba saja tahu itu siapa. Marita tersenyum lebar. Ia lalu menulis lagi.

Ibu.

Yang dia tau, ibu itu pasti sosoknya seperti bu Didi yang lembut penuh kasih. Tapi wanita yang semalam ada di mimpinya bukan bu Didi, tapi juga lembut penuh kasih. Dan marita tahu bu Didi bukan ibunya, karena bu Didi pernah bilang ibunya telah meninggal. Meninggal itu pergi jauh, kata bu Didi dulu. Nah, karena wanita yang semalam dia lihat di mimpi itu lembut penuh kasih, tapi bukan bu Didi, Marita langsung mengerti itu ibunya.

Lagi-lagi Marita tersenyum. Lalu ia menulis

Ibu itu lembut dan penuh kasih.

Aku sayang ibu.

Setelah menulisnya, Marita kini tahu arti kata sayang. Juga arti kata ibu. Lalu tiba-tiba ia merasa sangat bahagia. Disobeknya kertas dari bukunya, lalu berlarilah ia dengan gembira ke arah bu Didi.

"Bu Didi ini tulisan Marita!" Serunya sambil berlari-lari. Bu Didi mengambil kertas yang dibawa Marita lalu membacanya. Sementara Marita bermain-main dengan Pino, kucing peliharaan bu Didi.

"Bu Didi, Pino lucu ya."
"Iya."
"Pino ini anaknya bu Didi?"
"Bukan, sayang."
"Tapi bu Didi pernah panggil Pino: sayang.. sayang.. Gitu."
"Iya, karena bu Didi sayang Pino."
"Tapi bu DIdi bukan ibunya?"
"Bukan sayang."
"Tapi boleh sayang ke Pino?"
"Boleh dong. Bu didi sayang ke Marita tapi bukan ibunya Marita. Boleh kan?"
"Emm.. boleh kok." Marita tersenyum manis. Bu Didi juga tersenyum manis.
"Kalo gitu Bu Didi seperti ibunya Marita. Bu Didi jadi ibunya marita aja."

"Nggak sayang, ibunya Marita tetap ada sendiri. Yang akan selalu menyayangi Marita walaupun ia sudah nggak ada. Tapi bu Didi juga jadi ibunya Marita deh."
"Iya, bu Didi jadi ibunya Marita sekarang aja. Ibu yang beneran itu ibu yang dulu."
"Iya sayang, jadi marita punya ibu dua ya. Ibu sekarang sama ibu dulu."
"Enak ya Marita punya ibu dua!!!" Marita berseru girang.

"Pino, Marita punya dua ibu, enak deh rasanya. Kalau Pino cuma punya satu ibu Marita jadi ibu satunya ya... enak lho..." Marita mengoceh panjang sambil mengelus Pino.

Bu Didi masih tersenyum, dan diam-diam menitikkan air mata di sudut kelopaknya. Bingung harus merasakan perasaan apa. Mungkin dia juga akan meniru cara Marita, menulis saja, pikirnya. Biar perasaannya tertumpah dan tidak bingung lagi.


--------------------------------------------------------------------------

Mohon maklum kalo scattered... Maklum, habis writer's block satu setengah tahun. Hihihi :D

No comments: