Bukan Filsafat
Episode 1: Mas Pangik
Mas Pangik namanya. Seorang pembantu yang sudah bekerja untuk keluargaku sejak adik bungsuku baru lahir, 15 tahun yang lalu. Perangainya lemah lembut, malah cenderung gemulai. Yah... waria lah. Tapi yang membuatku salut, dia begitu sopan dan tidak pernah berkata yang menyakiti hati. Selalu berpenampilan pria, walaupun saat bicara nadanya begitu halus.
Sekarang ia tinggal sendiri menunggui rumah keluarga kami di Malang, sejak keluargaku pindah ke Surabaya beberapa tahun yang lalu. Tapi dia tetap pembantu kesayangan keluarga kami. Beberapa kali aku berkesempatan pulang ke Indonesia, aku pasti berkunjung ke Malang untuk menjenguk rumah dan menemaninya barang satu atau dua hari. Dari pagi hingga petang aku perhatikan aktivitasnya: bangun pagi, pergi ke pasar, membersihkan rumah lalu mandi dan masuk kamarnya. Tidak keluar-keluar lagi hingga jam tujuh atau setengah delapan malam, untuk makan lalu mengunci semua pintu dan menonton televisi hingga waktu tidurnya.
“Mas Pangik, ngapain to dari maghrib sampai jam delapan ga pernah keluar kamar?”
“Ya aku nunggu isya mbak Neysa, sambil ngaji.”
Aku terkesan dengan jawabannya. “Mas Pangik ngaji gitu itu tiap hari ta?”
“Ya iya mbak Neysa, aku pasti ngaji surat Yaasiin, terus lanjut ngaji surat yang lain sampai khatam (tamat).”
“Wah, mas Pangik rajin ya, aku ngajiku suka bolong mas, gak mesti tiap hari,” timpalku sambil dirundung rasa malu. Dia menanggapiku dengan tersenyum.
“Terus mas Pangik mendoakan siapa aja?” tanyaku lagi.
“Pertama aku doakan bapak ibuku almarhum supaya masuk surga. Terus aku berdoa karena banyak musibah di negara kita.”
Aku tertegun. “Musibah apa, banjir sama gempa itu ta mas?”
“Ya banyak, musibah lumpur, terus korupsi, terus sunami...” jawabnya lugu.
“Mas Pangik peduli ya...,” jujur, aku kagum.
“Ya bukan apa-apa mbak, aku ini ya cuma bisa itu aja. Aku selalu berdoa biar semua rakyat Indonesia selamat, nggak susah lagi. Biar negara ini juga tenang, pemerintahnya juga tenang...,” dia melanjutkan jawabannya dan tinggal aku yang sukses dibuatnya tercengang-cengang.
Ya... seorang mas Pangik. Mungkin hanya pembantu rumah tangga yang lulusan SD. Tapi inisiatif dan keikhlasan yang diberikannya bagi bangsa negaraku yang carut marut sungguh tulus dari hatinya. Jauh lebih tulus dari seorang anggota DPR sekalipun.
--------------
Episode 2: Si Buntung
“Eh, ada si buntung!”
Aku melompat turun dari kereta kuning itu, kegirangan. Si buntung juga rupanya menyadari kedatanganku, jadi diapun (dengan susah payah melompat-lompat pakai satu kaki) berusaha menjauh dan bersembunyi di kolong bangku. Yah, biasa, burung merpati liar seperti dia memang tidak jinak. Tapi, walaupun tidak jinak, dia hewan yang manis sekali. Dan pastinya ada yang istimewa padanya.
“Buntung, sini...!” Aku segera duduk di bangku sambil menjelajahi isi tasku. Ah, ketemu, batinku. Sisa makan siangku tadi: kulit-kulit roti gandum bekas sandwich yang kubawa untuk bekal. Dan Buntung sepertinya tahu kalau aku hendak mengeluarkan makanan untuknya. Jadi dia dengan malu-malu melompat-lompat keluar dari persembunyian. Kucabik-cabik kulit roti itu dan kusebar di lantai. Diapun kegirangan melahapnya dengan paruh kecilnya yang lucu.
Ya, aku beri dia julukan si Buntung. Seekor burung merpati liar yang selalu duduk dengan tenang di peron 2, stasiun Amsterdam Zuid. Kuberi dia panggilan Buntung karena... yah.... dia memang buntung. Satu kakinya hilang, hanya menyisakan bagian kecil yang ujungnya menjulur seperti benang. Mungkin karena tersambar kereta atau apa. Terlihat lucu, juga kasihan. Pernah aku lihat dia berusaha terbang, tapi kesusahan saat mendarat – terguling kecil di lantai peron karena susah menyeimbangkan tubuhnya saat mendarat dengan hanya satu kaki. Kedengarannya mengundang iba, tapi dengan tampang bodohnya dan tubuh gendut bundarnya itu, dia terlihat sungguh lucu.
Entah kenapa, bertemu dengan Buntung selalu membuat inspirasiku penuh terisi. Bukan karena gara-gara menertawakan kecacatannya. Atau karena aku bisa melepas penat karena melihat kelucuannya. Lebih dari itu, setiap bertemu Buntung aku merasa ada sesuatu yang manis yang bisa kupelajari. Bahwa dari kesederhanaan akal pikiran binatang, ternyata mereka bisa bertahan hidup dengan caranya sendiri. Bayangkan, burung seperti dia tidak bisa enak-enakan selonjor meluruskan kaki, atau duduk dan tiduran kalau kelelahan seperti kita manusia. Tidurnya pun berdiri, ya kan? Mungkin itu bukan masalah bagi kawan-kawan si Buntung yang punya dua kaki. Tapi betapa lelahnya kalau harus berdiri seumur hidup hanya dengan satu kaki. Kedengarannya mustahil. Ternyata Buntung bisa melakukannya. Ia tidur dengan satu kaki, dan berpindah tempat dengan cara melompat. Ia tetap mencoba terbang, walaupun berakhir dengan mendarat sambil setengah terjungkal. Begitulah, Buntungpun tetap hidup dengan bahagia, menanti remah roti dariku dan orang-orang lain guna bertahan sehari-hari. Buntung telah mengajarkanku bagaimana menyesuaikan diri dengan apa yang kita punya. Menggunakan dengan maksimal apa yang ada pada kita, meskipun apa yang kita punya tidak banyak.
----------------------
Ya... bukan filsafat memang. Yang pasti pelajaran-pelajaran itu bukan terlahir dari pemikiran Confucius, Marx, Bourdieu atau entahlah siapa. Kadang, begitu banyak hal-hal sederhana yang bisa menginspirasi, tanpa harus eksis pada lembaran kertas atau kata-kata. Begitu sederhananya, sampai kening kitapun tidak perlu berkernyit untuk mengartikannya. Sayangnya hal-hal itu adalah yang sering kita lewatkan begitu saja. Entah karena kita sibuk, atau terbiasa untuk tidak peduli. Padahal sumber pelajaran itu, begitu dekatnya dan sering kita temui.
Mungkin kita sudah kelewat "beradab dan terpelajar", sehingga hanya teorema populer yang layak bagi telinga dan mata kita. Atau kita terbawa arus, membaca hanya apa yang dibaca orang lain. Sudahkah kita memetik pelajaran hidup hari ini? Meskipun hanya dari seorang Mas Pangik atau seekor si Buntung?
Tidak? Kalau begitu jangan-jangan kita egosentris, dan membiarkan hal-hal sederhana tapi sungguh berarti dalam hidup ini, terlewat begitu saja.
(Amsterdam, satu sore bersama si Buntung - Desember 2009)
No comments:
Post a Comment