Tuesday, July 20, 2010

Karena cinta, (terkadang) butuh aksara*

19 Agustus 2002, saya “berkenalan” dengannya untuk pertama kali. Jujur, awalnya saya merasa biasa saja. Seandainya dia itu manusia, dia bukan sosok yang bisa seketika menarik hati. Dia bukan Paris, “rumah” kedua saya di Eropa, yang membuat saya jatuh hati lalu bercinta dan sanggup luapkan orgasme romantisme berkali-kali. Di titik ini, tempat ini, dua tahun pertama saya lewati dengan datar-datar saja. Hingga diakhir tahun kedua, saya memutuskan untuk tinggalkannya sejenak, mencoba labuhkan persinggahan hidup ke Jakarta selama setahun. Setahun yang saya lewati dengan perasaan yang sama, yang datang berulang-ulang: rindu. Rindu pulang padanya.

Dan di satu hari di bulan Agustus 2005, saya datang lagi menjejak buminya. Hingga kini. Tujuh tahun sudah, Amsterdam dan saya. Tanggal 19 Agustus esok, masuk tahun kedelapan kami bersama. Hanya satu kalimat yang sanggup mengelumit perasaan saya padanya: “Butuh lebih dari pertemuan pertama, untuk jatuh cinta.”

Tak seperti kota besar lain di Eropa, Amsterdam bukanlah seorang pesolek. Saat kota lain sanggup menawarkan sebuah imaji dan fisik yang cantik, Amsterdam tidak istimewa secara estetika. Kanal-kanalnya, taman-taman kotanya, dan jalan-jalan kecilnya, walau cantik tidaklah luar biasa. Yang mempesona darinya hanya satu bagi saya, dan itu sungguh sederhana: eksistensinya sebagai tempat persinggahan hidup. Hanya itu. Langitnya; atap yang naungi runtutan kejadian tergores jadi cerita . Buminya; jadi tempat pertemuan jalan hidup saya dengan jalan hidup sejuta penghuninya. Dari mereka ada dia, dia, dia, dia dan masih banyak lagi. Guru-guru saya. Ada beberapa gelintir yang kepribadiannya memancar seperti mutiara. Sungguh teman-teman terbaik yang saya kenal dalam hidup ini, yang tulus ikhlas menawarkan saya sebentuk persahabatan tanpa pamrih. Tak segan dekati saya disaat saya terpuruk, tidak hanya ada saat tawa dan ceria! Menawarkan pelukan, menyeka tangis dan menyadarkan saya semuanya akan baik-baik saja. Ada juga mereka yang merugi, tak pernah mengecap arti persahabatan sejati, demi harga diri. Membuat saya tertawa miris, dan mengajarkan saya apa saja yang tak layak ditiru. Dari pertemuan saya dengan mereka di Amsterdam, saya belajar bagaimana menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa.

Seperti itu pulalah, cara Amsterdam mendewasakan saya. Ia jadi tempat saya tenggelam dalam obrolan hangat memaknai hidup. Ia jadi titik beku yang setia menyambut tawa saya dengan suasananya. Ia dengan sabar, dalam diamnya, menenangkan tangis saya. Menawarkan pengalaman hidup dan membuat saya belajar darinya.

Hari ini, penghujung Juli 2010. Sebentar lagi saya mulai putaran roda kedelapan dengannya. Amsterdam, tempat saya selalu ingin pulang, menghambur ke pelukannya. Ia bagai sahabat yang hanya punya raga, namun ada hidup dan kehidupan di atasnya yang jadi denyut jiwa. Tak butuh bercakap, tak butuh menguntai aksara. Tak perlu dua kepribadian berbeda yang bersenyawa. Sebab dia, Amsterdam, menawarkan persahabatan dengan cara sederhana. Selepas hari, nadi-nadi ruas jalannya sambut hangat tubuh saya yang kecil letih. Anginnya lambungkan penat saya tinggi-tinggi. Dalam diamnya ia ajari saya cara mengeja, memaknai kehidupan, persahabatan, kerja keras dan percaya diri.

Amsterdam. Tempat semua berawal.




July 2010 - sitting here, in one of three places I call home. Saat cinta meluap tanpa romantismegombalisme, hanya butuh diungkapkan lewat pena – tapi lima ratus empat belas kata sesudahnya tetap urung hamparkan artinya.


----

*Terinspirasi dari kata-kata, “ cinta tak butuh aksara”, yang pernah aku baca dalam cerpen seorang penulis cewek. Hey sunshower - after all these years I have no clue whether you still write someplace somewhere, lebih memalukan lagi penaku udah tumpul abis setelah dilanda writer’s block berkepanjangan selama bertahun-tahun :( Oh if you read this: how I miss writing so much, and how I miss reading yours!

**On a lighter note: apa kabar semuwa? Mudah2an ga pada lupa sama blog ini ya. Hehe ;)

9 comments:

bulan said...

love your writes here.

Aku juga jatuh cinta pada Amsterdam. Amsterdam juga memperkenalkan saya pada sahabat2 saya dan orang yang saya cintai, dan insyAllah, my future husband :)

Indeed, Amsterdam itu sederhana yet lovely and homey. Ngangenin bgt deh...

a.k.a. Nez said...

adyuh, aku jadi malu. makasih ya bul...... amsterdam emang istimewa.

anakkubintang said...

hmm,,, kayaknya sih Amsterdam lebih menarik dari Doha, timur tengah sono. hehehehe,, nasib nasib, nyari duit kok ya jauh amat yakk

a.k.a. Nez said...
This comment has been removed by the author.
a.k.a. Nez said...

hahaha gapapa dunks nyari duit, tinggal diluar negeri cari pengalaman. ngerasain manis asem asin pedesnya hidup... ga cuma asam dan garam doank, heheheh. soal menariknya kayaknya sama aja deh... timur tengah ama eropa... akyuu jadi pengen juga kesanaaa ^_^

Dian said...

Happy anniversary kalo gitu, Neys. :)

I'm going to miss Amsterdam soon enough. :P

oya, a nice piece of writing..

a.k.a. Nez said...

thanks!! dirimu kapan sih balik indonya? sebelum balik wajib kumpul2 ya, habisnya pengajiannya batal terus hehe.... want to (and need to) meet u at least once more in Amsterdam.... bener ya say! nanti tak atur2 lagi via FB :)

Oma Nia said...

kangen baca blogmu, nez. ayo, nulis lagi sing rajin :P

a.k.a. Nez said...

makasih omatje.... iya nih, lagi merajinkan diri lagi.