Saya, yang belum merasakan kehilangan orang tua, hanya bisa terdiam dan bingung. Tidak tahu cara menghiburnya. Tidak bisa berkata apa-apa, karena perasaan yang sama belum pernah menghujam di hati. Hanya elusan di punggungnya yang bisa saya beri... yang tentu saja tidak bisa merubah apapun.
Kejadian yang sama terulang saat teman baik saya semasa kuliah menceritakan soal ibunya yang sakit keras. Diabetes hingga buta dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Beberapa bulan kemudian, ibunya benar-benar meninggal. Saat saya berusaha menulis satu email panjang untuk menyatakan dukacita saya, lagi-lagi saya seperti kelu dan tak bisa memuntahkan kata-kata.
Akhirnya saya menulis:
Aku ikut sedih ya. Walaupun aku belum pernah ngerasain hal yang sama. Tapi aku berharap kamu kuat. Dan semoga aku juga kuat saat mengalaminya sendiri.
Dan jawaban yang saya terima dari dia sungguh membuat saya menitikkan air mata.
InsyaAllah aku kuat, makasih ya. Kamu mesti bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah untuk memeluk ibumu, dengar suara ibumu. Cium tangan beliau sebanyak-banyaknya sebelum beliau dikafani. Cepat bahagiakan beliau, selagi beliau masih ada...
----------
Entah kenapa, pagi tadi saya tiba-tiba teringat rentetan kejadian tadi. Terutama pesan dari teman saya yang kehilangan ibunya tadi. Mungkin karena saya tengah merasakan rasa rindu yang teramat sangat pada Ibu saya di Surabaya. Segera saya kirimkan SMS, walaupun minggu lalu sudah dua kali saya menelepon beliau dan chatting dengan webcam. Jika biasanya saya bukan tipe yang sentimentil saat mengingat Ibu, kali ini sungguh berbeda rasanya. Saya terduduk sambil berurai air mata. Bahkan saat saya menulis postingan ini, satu tangan saya pun sibuk mengusap sudut-sudut mata yang membanjir hebat.
Buk, aku kangen dan sayang sama Ibuk....
Saya bersyukur memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Ibu saya. Sangat amat dekat. Lucunya, kedekatan emosional kami justru terjalin setelah saya merantau ke Belanda selepas SMA. Mungkin setelah saya mulai beranjak dewasa, Ibu jadi mempercayai saya dengan rahasia-rahasia terdalamnya. Setiap saya berkesempatan pulang ke rumah, Ibu selalu mengajak saya sharing di kamarnya. Bercerita dari hati ke hati. Berbagi antara wanita dan wanita.
Melihat Ibu saya sebagai penanggung jawab rumah tangga selalu membuat saya berdecak. Sungguh, saya belajar banyak darinya. Ibu saya adalah orang yang paling pandai mengatur keuangan keluarga. Sejak awal berumah tangga 27 tahun yang lalu, segala pemasukan rumah tangga baik dari beliau sendiri maupun dari gaji ayah saya, dibaginya dengan efektif lewat pos-pos pengeluaran yang ia atur sendiri dan ia kontrol ketat setiap bulannya. Sungguh, saya berdecak kagum jika melihat kepiawaian Ibu saya mengatur keuangan. Asuransi pendidikan, tabungan dan investasi adalah prioritas Ibu semenjak dulu. Ibu begitu ketat menyisihkan gaji ayah saya yang seorang PNS setiap bulannya untuk tabungan, walau dengan penuh perjuangan. Disaat orang lain di tahun 80-an mencibir Asuransi Pendidikan dan mempertanyakan apa gunanya, Ibu saya yang memiliki visi dan misi jauh ke depan berpikiran yang sebaliknya. Hasilnya, disaat saya lulus SMA dan orangtua teman-teman saya kebingungan dengan biaya kuliah anak-anaknya, Ibu saya dengan santainya berkata "nggak usah bingung, asuransi pendidikanmu cair nanti waktu kamu umur 18 tepat." Keren :-)
Tidak hanya itu yang membuat saya kagum dan ingin belajar dari Ibu. Ibu juga memberi saya contoh nyata jika seorang wanita harus bisa mandiri. Aktualisasi diri seorang wanita lebih dalam artinya dari sekadar karier, tapi seorang wanita harus bisa jadi inspirasi dan penggerak hati. Ibu saya tidak hanya menginspirasi saya sebagai anak perempuannya, tapi juga perempuan-perempuan lain disekitarnya, saat diusia 44 memulai imperium bisnisnya di bidang pendidikan. Never too old to begin and never too old to learn, katanya. Kini, Ibu saya sudah jadi salah satu pebisnis wanita yang disegani di Surabaya. Kapal yang dinahkodainya kini telah menghidupi ratusan orang pegawai. Lapangan kerja baru ia ciptakan demi kesejahteraan banyak orang. Dari beliau, saya tergerak untuk melakukan hal yang sama. Suatu hari nanti jika Allah mengizinkan, saya juga harus mampu mengesampingkan egoisme saya dan dorongan untuk mencari comfort zone dengan hanya status pekerja. Berjuang menciptakan lapangan kerja sendiri dan berguna bagi banyak orang.
Buk, aku kangen dan sayang sama Ibuk....
Bulan pernah menulis di blognya, betapa sakit hatinya jika mendengar teman-teman yang berkata buruk tentang Ibu-ibu mereka sendiri. Sedikit banyak saya kini bisa memahami perasaannya. Bagaimana bisa ada anak yang tega berkata sengit tentang Ibu yang telah membesarkan dan menyayangi mereka. Bagaimana bisa sesosok Ibu yang harusnya inspiratif dan penuh kelembutan, bisa berbalik seperti musuh...? Perasaan saya terluka saat ada kawan yang bercerita bahwa ia bahkan tak lagi tersentuh hatinya saat mengingat Ibunya sendiri, karena mereka berdua seolah sepasang orang asing sejak sang ibu bercerai dari ayahnya. Padahal hati seorang anak harusnya tertusuk-tusuk setiap mengingat perkataan kasar dan perbuatan yang mungkin telah menyakiti hati Ibunya.
--------
Saya hanya bisa tak hentinya bersyukur pada Allah, karena Ia telah mempercayakan saya ke tangan seorang Ibu yang luar biasa. Walaupun Ibu saya bukan manusia yang sempurna, tapi bagi saya Ibu tetap yang terhebat. Sumber inspirasi saya. Orang yang telah mengajarkan saya cinta yang tulus, menguapkan ego dan menyayangi sesama, menabahkan hati dengan iman kepada Allah, berjuang dan bekerja keras.
Dan saya berjanji kepada Allah, disetiap doa saya seusai shalat, untuk selalu berusaha membahagiakan Ibu. Karena kasih Ibu saya memang tulus dan tak terhingga sepanjang masa :-)
--------
Temans, cium tangan ibu kalian sebanyak-banyaknya sebelum ia tertidur panjang. Dengarkan suaranya sepuas hati sebelum ia membisu selamanya. Peluk dan katakan cinta untuknya. Bahagiakan ia, selagi kalian bisa...
No comments:
Post a Comment